New Schools of Thought Innovative model for Delivering Higher Education
Review buku
Karena kemampuannya beradaptasi, perguruan tinggi adalah salah institusi sosial tertua yang bisa bertahan hingga saat ini. Dewasa ini tantangan pendidikan tinggi semakin berat seiring datangnya gelombang revolusi industry 4.0 yang mendisrupsi dan merubah wajah dunia kerja dan tatanan sosial. Kemudian, kita menyaksikan menguatnya nasionalisme sempit di berbagai Negara yang akan menguji elan kosmopolitan dan global universitas. Terakhir, dunia pendidikan tinggi digoncang oleh pandemic coronavirus yang menghentikan mobilitas manusia dan aktivitas ekonomi. Banyak perguruan tinggi yang terancam gulung tikar karena sebagian besar mereka masih tergantung dengan uang kuliah dari mahasiswa, baik lokal maupun internasional, sementara pada saat yang sama di mana-mana Negara mengurangi subsidinya untuk universitas.
Dalam perubahan itu bagaimana perguruan tinggi bisa menterjemahkan misinya sebagai institusi pendidikan tinggi yang melahirkan sumber daya manusia terdidik yang utuh, tapi juga siap kerja; memproduksi ilmu pengetahuan yang aplikatif tapi pada saat yang sama berkontribusi untuk pengembangan ilmu itu sendiri; Menyemai nilai sipil di tengah polarisasi masyarakat dan hilangnya trust antara sesame; serta memberi solusi untuk masalah lokal dimana mereka berada.
Dalam konteks inilah, buku atau lebih tepatnya sebuah buku laporan riset “New Schools of Thought Innovative Model for Delivering Higher Education” (2020) menemukan momentumnya. Buku yang ditulis oleh The Economist Intelligent Unit ini sebuah divisi penelitian The Economist Group menawarkan lima model layanan pendidikan tinggi masa depan untuk menjawab tantangan seperti di atas. Kelimanya itu adalah 1) online universities; 2) the cluster model;3) Experiential institutions; 4) Liberal Arts Colleges; 5) Partnership Model. Model pertama menawarkan bahwa pembelajaran pendidikan tinggi masa depan harus dilakukan secara online, menjangkau siapa saja, dilakukan kapan dan dimana saja. Model kedua, mengeliminasi model pendidikan tinggi yang silo, asyik sendiri dan menawarkan model merger, penggabungan antara institusi lalu berbagai layanan dan fasilitas. Model ketiga menawarkan pendidikan tinggi luar kelas dan pengalaman langsung di dunia kerja seperti magang dsb. Model keempat -ini biasanya kampus-kampus kecil seperti banyak ditemui di US- menawarkan pendidikan yang interdisiplin, kedalaman dan keluasan pembelajaran. Model kelima menekankan kerjasama dengan pihak luar seperti perusahaan besar untuk menjaga pembiayaan kampus dan prospek kerja lulusan.
Buku ini menarik untuk dibaca, karena disusun dengan alur yang runtut. Dimulai dari memaparkan tantangan lalu misi, kemudian penulis menawarkan model layanan pendidikan tinggi masa depan. Akan tetapi menurut saya penulis abai untuk melihat kenyataan bahwa tetap saja yang akan bertahan itu adalah perguruan tinggi yang sudah besar. Perguruan tinggi besar dengan sumberdaya berlimpah (abundant resources), tatakelola yang mendukung dan talent yang telah terkonsentrasi akan semakin berlari. Perguruan tinggi besar bisa melakukan kelima model tersebut diatas tentu sesama mereka sendiri. Mereka punya reputasi dan mereka berkumpul sesama mereka. Kita kenal kelompok Ivy League di US, Russel Group di UK; Group of Eight di Australia; C 9 League Chinese University dan lain sebagainya. Kenyataannya dalam riset-riset terkait tentang industry 4.0 misalnya tetap saja dipimpin oleh perguruan tinggi dengan reputasi dunia itu. Hari ini kita melihat misalnya Cambridge university kampus pertama yang sedang dan sudah mulai melakukan model pendidikan online secara utuh paling tidak sampai musim gugur tahun 2021. Saya fikir kampus-kampus besar lain juga akan mengikuti. Silahkan membaca.
Comments
Post a Comment